Mengulik sejarah benteng Valkenoog di Menggala yang dianggap sebagai benteng Petrus Albertus di Tanjungan, Semaka, Tanggamus.benteng Valkenoog di Menggala yang dianggap sebagai benteng Petrus Albertus di Tanjungan, Semaka, Tanggamus.
Ulasan menarik dari pemerhati sejarah KIAN AMBORO tentang miskonsepsi benteng Valkenoog di Menggala yang dianggap sebagai benteng Petrus Albertus di Tanjungan, Semaka, Tanggamus.
Setengah Abad Miskonsepsi Benteng VOC Valkenoog, di Menggala, Tulang Bawang
Menelusuri Lampung lampau tak hanya membuatku banyak menemukan pengetahuan baru tentang kejayaan Tanah Lada di ujung selatan Swarnadwipa. Tetapi juga menemukan beberapa kekeliruan yang rupanya telah mengakar nyaris setengah abad lamanya. Salah satunya adalah keberadaan benteng VOC di Menggala. Sebuah wilayah yang mashyur berkat rempah ladanya, tanah yang konon pernah disinggahi I Tsing dari negeri Cina, daerah yang juga jadi sumber sengketa antara Kesultanan Palembang dengan Kesultanan Banten karena kualitas lada terbaiknya. Tersebab lada ini juga, VOC begitu tertarik dan berupaya mengamankan kepentingannya dengan mendirikan sebuah benteng di padalaman Menggala, di meander Way Tulang Bawang. Bernama Benteng Petrus Albertus katanya.
Namun betapa terkejutnya ketika ku ketahui telah terjadi miskonsepsi terhadap nama benteng besar ini. Hasil penelusuran yang didapatkan sempat membingungkan. Meski pada akhirnya didapat satu kesimpulan, bahwa telah terjadi miskonsepsi disini. Di nama benteng ini, ya nama Benteng Petrus Albertus. Sumber bacaan tertua yang pernah menyebutkan keberadaan benteng VOC di Menggala dengan nama Benteng Petrus Albertus adalah buku Sejarah Daerah Lampung terbitan Depdikbud tahun 1977 (sampai dengan saat ini, buku ini masih menjadi rujukan utama tentang sejarah Lampung yang diterbitkan oleh pemerintah). Setelahnya, terbit karya fiksi wiracarita yang ditulis oleh Andy Wasis tahun 1980 berjudul “Runtuhnya Benteng Petrus Albertus; Sebuah Epos Kepahlawanan Rakyat Menggala”. Meski sebuah karya fiksi, penulisnya tegas mengambil latar peristiwa berikut periodesasi tahunnya. Setelahnya, semakin banyak tulisan-tulisan lain secara berantai menuliskan hal yang sama, baik dalam makalah-makalah maupun jurnal-jurnal ilmiah. Bahkan publikasi penelitian sekelas BPNB (Balai Pelestarian Nilai Budaya) juga menuliskan hal yang sama.
Mari coba diurai letak miskonsepsi ini. Dalam daftar inventarisasi benteng dan pos yang pernah didirikan oleh VOC di Kesultanan Banten, khususnya daerah Lampung, disebut VOC pernah mendirikan 3 (tiga) benteng untuk mengamankan kepentingan politik perniagaan rempahnya. Ketiganya adalah Benteng Valkenoog atau Valkenburg didirikan tahun 1738-40 di Menggala, Tulang Bawang; Benteng De Jonge Petrus Albertus tahun 1763-65 di Borne (Tanjungan) Teluk Semaka; dan Benteng Pagger Samanca (Kota Agung) sekitar tahun 1770-75 di Teluk Semangka (vocsite.nl; geschiedenis handelsposten). Dari sumber daftar inventaris milik VOC ini jelas sudah bahwa Benteng VOC yang didirikan di Menggala adalah bernama Valkenoog atau Valkenburg yang diambil dari nama Gubernur Jenderal VOC yang berkuasa ketika itu, ialah Adrian Valkenier (1737-1741). VOC memang sering menggunakan nama-nama tokoh yang dianggap penting menjadi nama sebuah bangunan monumental yang dibangunnya.
Sebuah arsip cetak biru pembangunan Benteng Valkenoog di Menggala yang berhasil ditemukan, semakin memperkuat kenyataan terjadinya miskonspsi ini. Meski tulisan hampir aus, namun masih dapat terbaca dengan jelas gambaran bentuk benteng VOC di Menggala yang bernama Valkenoog dan berangka tahun 1740 itu. Dan sekali lagi, bukan bernama Benteng Petrus Albertus yang oleh VOC benteng dengan nama itu dicatat keberadaannya ada di Teluk Semaka (dalam Beknopte beschryving der Oostindische etablissementen).
Miskonsepsi juga terlihat jelas dalam karya fiksi epos kepahlawanan rakyat Menggala tulisan Andy Wasis. Periode waktu yang digunakan dalam karya fiksi itu tertulis tahun 1686. Tahun yang tentu sangat jauh dari waktu pembangunan Benteng Valkenoog (1738-40), apalagi Benteng Petrus Albertus yang sebenarnya (1763-65), bahkan Gubernur Jenderal VOC Petrus Albertus yang namanya digunakan sebagai nama benteng sekaligus judul karya fiksi itu, belum dilahirkan pada tahun tersebut. Meskipun mengukur karya fiksi dengan tolok ukur data ilmiah dirasa kurang tepat, seyogianya karya fiksi yang berlatar peristiwa sejarah atau jika ingin menyebutkan angka-angka tahun dapat menyesuaikan. Sebab epos kepahlawanan memiliki pengaruh kuat dalam membentuk sikap patriotik individu, dan jangan sampai jiwa patriotik itu dibangun di atas fondasi fakta yang keliru.
Lantas apa yang perlu dilakukan terhadap miskonsepsi ini? Jelas, narasi tentang Sejarah Daerah Lampung yang terakhir ditulis dan diterbitkan oleh pemerintah tahun 1977 perlu dimutakhirkan kembali. Tidak menutup kemungkinan miskonsepsi lainnya banyak terjadi, sebab perkembangan ilmu pengetahuan antara setengah abad lalu dengan hari ini telah jauh berbeda. Setidaknya pemerintah daerah perlu menganggap hal ini merupakan masalah penting, paling tidak untuk menghindari terjadinya kesalahan atau miskonsepsi secara berantai oleh masyarakat luas, terutama masyarakat Lampung sebagai pemilik dari sejarahnya sendiri.
(Sumber: FB Kian Amboro Reposting FB Jejak Tanggamus)(Sumber: FB Kian Amboro Reposting FB Jejak Tanggamus)